Sumber Gambar :ANTARA/str-Sumaryanto bronto/rn
Sebagai seorang muslim segala sesuatu telah dijelaskan dengan jelas oleh Allah memlaui agamaNya yaitu Islam.Begitupun mengenai musibah,cara menyikapi dan penyebab-penyebab nya telah terangkum didalamnya.Berikut penjelasannya :
Bala’.
Secara literal, al-bala’ bermakna al-ikhtibar (ujian). Istilah bala’ sendiri digunakan untuk menggambarkan ujian yang baik maupun yang buruk (Imam ar-Razi, Mukhtâr al-Shihâh, hal. 65). Dalam kitab al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an dinyatakan, bahwa bala’ itu memiliki tiga bentuk; ni’mat (kenikmatan), ikhtibaar (cobaan atau ujian), dan makruuh (sesuatu yang dibenci) (Syihâb al-Dîn Ahmad, al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an, juz 1, hal. 85). Di dalam al-Quran, kata bala’ disebutkan di enam tempat, dengan makna yang berbeda-beda; (Qs. al-Baqarah [2]: 49; Qs. al-A’râf [7]: 141; Qs. al-Anfâl [8]: 17; Qs. Ibrahim [14]: 6; Qs. ash-Shafât [37]: 106; Qs. ad-Dukhân [44]: 33). Ada yang bermakna cobaan dan ujian yang dibenci manusia. Ada pula yang berarti kemenangan atau kenikmatan (bala’ hasanan).
Bala’ dalam konteks ujian yang buruk, misalnya terdapat di dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 49).
Bala’ dalam konteks ujian yang buruk, misalnya terdapat di dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 49).
Ayat ini bercerita tentang diselamatkannya Bani Israil dari penyembelihan dan kekejaman Fir’aun. Menurut Ali ash-Shabuni, bala’ dalam ayat ini adalah al-mihnah wa al-ikhtibâr (ujian dan cobaan) yang ditimpakan oleh Fir’aun kepada Bani Israil; yakni penyembelihan anak laki-laki (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 1, hal. 57).
Adapun bala’ dalam konteks ujian yang baik terdapat dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Maka sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik (bala’an hasanan). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Anfâl [8]: 17).
Adapun bala’ dalam konteks ujian yang baik terdapat dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Maka sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik (bala’an hasanan). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Anfâl [8]: 17).
Menurut Imam al-Baidhawi dalam Tafsir al-Baidhawi, kata bala’ pada ayat di atas adalah kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang-orang beriman, yang berujud, pertolongan Allah (al-nashr), al-ghanimah (harta rampasan perang), dan al-musyahadah (mati syahid) (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 3, hal. 97).
Musibah.
Musibah adalah al-baliyyah (ujian) dan semua perkara yang dibenci oleh manusia. Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisân al-‘Arab menyatakan, bahwa musibah adalah al-dahr (kemalangan, musibah, dan bencana) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 535).
Menurut Imam al-Baidhawi, musibah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat manusia. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Setiap perkara yang menyakiti manusia adalah musibah.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 1, hal. 431).
Musibah adalah al-baliyyah (ujian) dan semua perkara yang dibenci oleh manusia. Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisân al-‘Arab menyatakan, bahwa musibah adalah al-dahr (kemalangan, musibah, dan bencana) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 535).
Menurut Imam al-Baidhawi, musibah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat manusia. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Setiap perkara yang menyakiti manusia adalah musibah.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 1, hal. 431).
Kata musibah disebutkan di sepuluh ayat, dan semuanya bermakna kemalangan, musibah, dan bencana yang dibenci manusia. Namun demikian, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk menyakini, bahwa semua musibah itu datang dari Allah SWT, dan atas ijinNya. Allah SWT berfirman:
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadanya hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. al-Taghâbun [64]: 11).
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadanya hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. al-Taghâbun [64]: 11).
‘Adzab.
Secara literal, ‘adzab adalah al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan bagi yang lain, dan siksaan [hukuman]) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 585). Al-nakâl adalah peringatan yang berupa siksaan atau hukuman kepada yang lain. Kata al-‘adzab biasanya digunakan pada konteks hukuman atau siksaan kelak di hari akhir. Allah SWT berfirman:
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Qs. al-Baqarah [2]: 7).
“Sesungguhnya, orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akherat, Kami sediakan bagi mereka adzab yang pedih.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 10), dan lain sebagainya. Namun demikian, kata ‘adzab juga digunakan dalam konteks hukuman di kehidupan dunia. Allah SWT berfirman:
“Tak ada suatu negeripun yang durhaka penduduknya, melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat, atau Kami adzab (penduduknya) dengan adzab yang keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab Lauh al-Mahfuudz.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 58).
Secara literal, ‘adzab adalah al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan bagi yang lain, dan siksaan [hukuman]) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 585). Al-nakâl adalah peringatan yang berupa siksaan atau hukuman kepada yang lain. Kata al-‘adzab biasanya digunakan pada konteks hukuman atau siksaan kelak di hari akhir. Allah SWT berfirman:
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Qs. al-Baqarah [2]: 7).
“Sesungguhnya, orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akherat, Kami sediakan bagi mereka adzab yang pedih.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 10), dan lain sebagainya. Namun demikian, kata ‘adzab juga digunakan dalam konteks hukuman di kehidupan dunia. Allah SWT berfirman:
“Tak ada suatu negeripun yang durhaka penduduknya, melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat, atau Kami adzab (penduduknya) dengan adzab yang keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab Lauh al-Mahfuudz.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 58).
Menurut Ali ash-Shabuni, jika penduduk suatu kota ingkar atau bermaksiyat kepada perintah Allah SWT, mendustakan Rasul-rasulNya, niscaya Allah akan menghancurkan mereka, baik dengan kehancuran secara total (pemusnahan), maupun ditimpa dengan hukuman yang amat keras (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165).
Di ayat yang lain, Allah SWT berfirman:
“Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengadzab orang-orang kafir di antara mereka dengan adzab yang pedih.” (Qs. al-Fath [48]: 25).
Tatkala menafsirkan ayat ini, Ali ash-Shabuni mengatakan, “Seandainya orang-orang kafir itu dipisahkan satu dengan yang lain, kemudian dipisahkan antara yang mukmin dengan yang kafir, tentulah Allah akan mengadzab orang-orang kafir dengan adzab yang sangat keras, berupa pembunuhan, penawanan, maupun pengusiran dari negeri mereka-negeri mereka.” (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 3, hal. 48).
Keterangan ini diperkuat dengan firman Allah SWT yang lain, yakni:
“Dan jikalau tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengadzab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akherat adzab neraka.” (Qs. al-Hasyr [59]: 3).
“Dan jikalau tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengadzab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akherat adzab neraka.” (Qs. al-Hasyr [59]: 3).
Ayat ini bercerita tentang pengusiran Bani Nadzir, sekaligus mengisahkan, bahwa jikalau Allah SWT tidak menetapkan hukuman pengusiran terhadap Bani Nadzir, niscaya mereka akan diadzab dengan pembunuhan (al-qatl). Hukuman bagi mereka cukup dengan pengusiran, bukan pembunuhan seperti halnya hukuman bagi Yahudi Bani Quraidzah.
Ayat di atas juga menunjukkan, bahwa ‘adzab tidak hanya berasal dari Allah SWT saja, akan tetapi juga bersumber dari manusia sendiri, yakni berupa hukuman atau sanksi di kehidupan dunia.
Ayat di atas juga menunjukkan, bahwa ‘adzab tidak hanya berasal dari Allah SWT saja, akan tetapi juga bersumber dari manusia sendiri, yakni berupa hukuman atau sanksi di kehidupan dunia.
Penyebab Datangnya ‘Adzab Allah Pada dasarnya, penyebab datangnya ‘adzab Allah SWT adalah kedzaliman, kemaksiyatan, dan kefasikan. Allah SWT telah menyatakan hal ini di beberapa ayat; diantaranya adalah firman Allah SWT:“Dan tidak pernah Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedzaliman.” (Qs. al-Qashash [28]: 59).“maka tidak dibinasakan kecuali kaum yang fasik.” (Qs. al-Ahqâf [46]: 35).“Kami telah membinasakan mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berbuat dosa (al-mujrim).” (Qs. ad-Dukhân [44]: 37).
Ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa ‘adzab Allah hanya akan dijatuhkan kepada penduduk negeri yang melakukan kedzaliman, kemaksiyatan, dan kefasikan. Dengan kata lain, ‘adzab Allah hanya akan dijatuhkan, tatkala peringatan-peringatan Allah SWT melalui lisan RasulNya telah diabaikan dan didustakan.
Akan tetapi, ada beberapa riwayat yang menunjukkan, bahwa ‘adzab Allah bisa saja mengenai orang-orang mukmin tatkala mereka enggan mencegah kemungkaran padahal mereka mampu melakukannya. Dari Adi bin Umairah dituturkan, bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzab orang-orang secara keseluruhan akibat perbuatan mungkar yang dilakukan oleh seseorang, kecuali mereka melihat kemungkaran itu di depannya, dan mereka sanggup menolaknya, akan tetapi mereka tidak menolaknya. Apabila mereka melakukannya, niscaya Allah akan mengadzab orang yang melakukan kemungkaran tadi dan semua orang secara menyeluruh.” [HR. Imam Ahmad].
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzab orang-orang secara keseluruhan akibat perbuatan mungkar yang dilakukan oleh seseorang, kecuali mereka melihat kemungkaran itu di depannya, dan mereka sanggup menolaknya, akan tetapi mereka tidak menolaknya. Apabila mereka melakukannya, niscaya Allah akan mengadzab orang yang melakukan kemungkaran tadi dan semua orang secara menyeluruh.” [HR. Imam Ahmad].
Sedangkan ‘adzab manusia, baik berupa pembunuhan, teror, pengusiran, dan lain sebagainya semata-mata tergantung dari kehendak manusia itu sendiri. Contohnya, Fir’aun pernah mengumumkan hukuman bunuh bagi bayi yang lahir laki-laki. Rasulullah Saw menghukum Bani Quraidzah dengan pembunuhan atas pengkhianatan mereka. Nabi Saw juga pernah mengusir Bani Nadzir dari kota Madinah, sebagai hukuman atas makar yang mereka lakukan.
Jenis-Jenis ‘Adzab Allah
‘Adzab Allah SWT ada dua jenis. Pertama, ‘adzab yang ditimpakan kepada penduduk suatu negeri yang berakibat musnahnya penduduk kota tersebut (isti’shâl). Kedua, ‘adzab yang sangat keras, akan tetapi tidak sampai memusnahkan penduduk negeri tersebut.
‘Adzab Allah SWT ada dua jenis. Pertama, ‘adzab yang ditimpakan kepada penduduk suatu negeri yang berakibat musnahnya penduduk kota tersebut (isti’shâl). Kedua, ‘adzab yang sangat keras, akan tetapi tidak sampai memusnahkan penduduk negeri tersebut.
‘Adzab jenis pertama dijatuhkan Allah SWT kepada umat terdahulu, seperti kaumnya Nabi Nuh, kaum Tsamud, dan lain sebagainya. Kaum-kaum tersebut telah dimusnahkan Allah SWT akibat pengingkaran mereka terhadap tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Sebab, jika tanda-tanda kebesaran Allah SWT telah ditunjukkan kepada suatu kaum, namun kaum tersebut tetap saja ingkar dan mendustakan Allah dan RasulNya, maka Allah SWT pasti akan memusnahkan kaum tersebut. Allah SWT berfirman:
“Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari Kiamat atau kami adzab (penduduknya) dengan adzab yang sangat keras. Yang demikian itu tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfudz). Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda-tanda kekuasaan Kami) , melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 58-59).
“Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari Kiamat atau kami adzab (penduduknya) dengan adzab yang sangat keras. Yang demikian itu tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfudz). Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda-tanda kekuasaan Kami) , melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 58-59).
Allah SWT telah menetapkan, bahwa orang-orang yang mendustakan tanda-tanda kekuasaanNya akan dimusnahkan Allah SWT. Tanda kebesaran Allah ini pernah diberikan kepada Rasul-rasul terdahulu; misalnya, unta betinanya Nabi Shaleh bagi kaum Tsamud. Sayangnya, kaum Tsamud mengingkari tanda kebesaran Allah ini. Akhirnya kaum Tsamud dimusnahkan dari muka bumi. Mayoritas ahli tafsir menyatakan, bahwa ayat ini berhubungan dengan permintaan orang-orang Quraisy kepada Nabi Saw agar beliau Saw menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah sebagai bukti kebenaran kenabian dan risalahnya. Akan tetapi, Allah SWT memberitahu Nabi Saw, bahwa jika Allah mengabulkan permintaan mereka, namun mereka tetap saja ingkar dan mendustakan tanda-tanda kebesaran Allah tersebut, niscaya mereka akan dimusnahkan, sebagaimana kaum-kaum terdahulu (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165). Oleh karena itu, Allah SWT tidak mengiyakan permintaan kaum Quraisy tersebut, dikarenakan Ia tidak ingin memusnahkan kaum Quraisy.
Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa ‘adzab isti’shâl (pemusnahan) tidak akan menimpa umat Muhammad Saw. Tetapi, umat Muhammad Saw tidak luput dari ‘adzab yang keras, jika mereka melakukan kedzaliman, kefasikan, dan kekufuran.
‘Adzab Akibat Pembesar-Pembesar Fasiq Dan Dzalim
Jika pembesar-pembesar suatu negeri atau kota melakukan kemaksiyatan kedurhakaan, dan kedzaliman, niscaya Allah akan mengirimkan ‘adzab kepada penduduk negeri tersebut. Al-Qur’an telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah SWT), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 16).
Jika pembesar-pembesar suatu negeri atau kota melakukan kemaksiyatan kedurhakaan, dan kedzaliman, niscaya Allah akan mengirimkan ‘adzab kepada penduduk negeri tersebut. Al-Qur’an telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah SWT), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 16).
Ibnu ‘Abbas tatkala menafsirkan ayat ini menyatakan:
“Maksud ayat ini adalah, jika Kami (Allah) telah memberikan kekuasaan kepada pembesar-pembesar di sebuah kota, kemudian mereka berbuat maksiyat di dalamnya, maka Allah SWT akan menghancurkan penduduk di negeri tersebut dengan ‘adzab.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, juz 2, hal. 371).
“Maksud ayat ini adalah, jika Kami (Allah) telah memberikan kekuasaan kepada pembesar-pembesar di sebuah kota, kemudian mereka berbuat maksiyat di dalamnya, maka Allah SWT akan menghancurkan penduduk di negeri tersebut dengan ‘adzab.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, juz 2, hal. 371).
Di ayat lain, Allah SWT telah mendiskripsikan kerusakan di darat dan laut akibat perbuatan manusia. Allah SWT berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Qs. ar-Rûm [30]: 41).
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Qs. ar-Rûm [30]: 41).
Imam Baidhawi berkata, “Yang dimaksud dengan kerusakan (pada ayat tersebut) adalah paceklik al-jadb), kebakaran yang merajalela, ketenggelaman, hilangnya keberkahan, dan banyaknya kelaparan, akibat kemaksiyatan dan ulah perbuatan manusia.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 2, hal. 106).
Menurut Imam Ibnu Katsir, yang dimaksud kerusakan adalah berkurangnya hasil-hasil pertanian dan buah-buahan karena kemaksiyatan manusia. Sebab, baiknya bumi dan langit tergantung dengan ketaatan (Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, hal. 57).
Kedzaliman penguasa, keengganan rakyat melakukan koreksi dan muhasabah terhadap penguasa merupakan pemicu datangnya ‘adzab dari Allah SWT. Sebaliknya, ketaatan kepada Allah SWT merupakan kunci bagi perbaikan bumi dan seisinya.
Kedzaliman penguasa, keengganan rakyat melakukan koreksi dan muhasabah terhadap penguasa merupakan pemicu datangnya ‘adzab dari Allah SWT. Sebaliknya, ketaatan kepada Allah SWT merupakan kunci bagi perbaikan bumi dan seisinya.
Khatimah
Seorang mukmin harus menyakini, bahwa seluruh musibah yang menimpa dirinya berasal dari Allah SWT. Sebab, tidak ada satupun musibah yang terjadi di muka bumi ini, kecuali atas Kehendak dan Ijin Allah SWT. Akan tetapi, seorang mukmin juga wajib mengimani adanya musibah-musibah yang disebabkan karena kemaksiyatan yang dilakukan oleh manusia.
Seorang mukmin harus menyakini, bahwa seluruh musibah yang menimpa dirinya berasal dari Allah SWT. Sebab, tidak ada satupun musibah yang terjadi di muka bumi ini, kecuali atas Kehendak dan Ijin Allah SWT. Akan tetapi, seorang mukmin juga wajib mengimani adanya musibah-musibah yang disebabkan karena kemaksiyatan yang dilakukan oleh manusia.
Sesungguhnya, musibah maupun ‘adzab yang ditimpakan Allah SWT kepada manusia ditujukan agar mereka kembali mentauhidkan Allah SWT, dan menjalankan seluruh syariatNya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sayangnya, banyak orang memandang musibah sebagai peristiwa dan fenomena alam biasa, bukan sebagai peringatan dan pelajaran dari Allah SWT. Akibatnya, mereka tetap tidak mau berbenah dan memperbaiki diri. Mereka tetap melakukan kemaksiyatan dan menyia-nyiakan syariat Allah SWT. Mereka lebih percaya kepada kekuatan ilmu dan teknologi bikinan manusia untuk menangkal bencana dan musibah, dari pada Kekuatan dan Kekuasaan Allah SWT. Adanya musibah tidak justru menjadikan mereka rendah diri dan bersandar kepada Allah, namun justru menyeret mereka untuk semakin ingkar kepada Allah SWT.
Benar, salah satu bentuk pembenahan diri adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menangkal bencana dan musibah dengan berbagai sarana dan prasarana; misalnya; merancang master planning yang komprehensif, membangun sistem drainase yang baik, mendirikan tembok dan bendungan beton yang kokoh, dan lain sebagainya. Namun, pembenahan harusnya tidak hanya berhenti pada aspek-aspek fisik seperti ini saja, akan tetapi harus mencakup pula pembenahan spritual yang mampu mengantarkan kepada ketaqwaan yang hakiki; yakni mentauhidkan Allah SWT dan menjalankan seluruh syariatNya. Sebab, penyebab utama datangnya ‘adzab adalah kemaksiyatan, bukan semata-mata karena lemah maupun kurangnya sarana dan prasarana fisik. Wallahu a’lam bi ash-Shawab.
Tidak ada di kalangan manusia yang suka pada bencana. Kerana bencana itu sangat menyusahkan manusia.Kerana itulah manusia bersedih sedih hati dengan bencana.Walaupun demikian tidak ada di kalangan manusia baik itu secara perseorangan maupun secara kelompok, dapat mengelak atau dapat terlepas daripada bencana, sekalipun dia seorang yang berkuasa atau seorang yang kaya. Cuma ada orang yang ditimpa bencana sekali-sekali saja, ada yang selalu, ada yang ringan, ada yang berat, ada terjadi pada dirinya, keluarga dan harta bendanya atau kedudukannya dan lain-lain lagi. Diantara bencana-bencana itu mana yang lebih berbahaya?Sebenarnya bencana terbagi menjadi dua:
Pertama: Yang bersifat hissi atau bersifat lahir
Bencana ini berbagai macam bentuknya, di antaranya seperti sakit, harta hilang, kematian keluarga yang tercinta, difitnah, dipermalukan, dipukul orang, jatuh miskin, turun pangkat, perniagaan rugi, diPHK, harta musnah oleh bencana alam, tidak naik pangkat, dipenjara dan lain-lain.
Kedua: Yang bersifat maknawi atau rohani
Berbagai macam bentuk pula, di antaranya seperti melupakan ilmu yang telah dipelajari, tercabut iman, atau iman berkurang, ilmu tidak diamalkan, iman tercabut yang ada hubungan dengan akidah. Iman merosot karena beberapa sebab, diantaranya seperti ada amalan yang biasa dikerjakan tidak dikerjakan,atau memlakukan dosa baik itu kecil maupun besar. Dosa itu, ada dosa lahir dan ada dosa batin.Di antara dosa-dosa itu ialah seperti berzina, riba, korupsi,mencuri, menipu, minum arak, judi, mengumpat, memfitnah,menghina, menghasut, hasad, tamak, bakhil, pemarah, mengadu domba dan lain-lain.
Di antara dua bentuk bencana ini, bencana yang paling berbahaya ialah bencana yang bersifat rohani dan maknawi, karena bencana ini akan membawa ke Neraka.Sebaliknya bencana yang bersifat hissi tidak membawa ke Neraka. Bahkan mungkin menguntungkan karena mungkin dapat menghapuskan dosa atau mendapat derajat di dalam Syurga, asalkan pandai menerimanya.
Oleh karena itu bencana yang bersifat rohani dan maknawi ini sangat dibenci dan wajib dijauhi. Maksudnya, setiap dosa adalah bencana, maka wajib dijauhi. Tapi bencana yang bersifat hissi tidak perlu dibenci. Ia hanya menyusahkan. Dan tidak menjadi satu kesalahan untuk berusaha mengelaknya. Juga tidak salah kalau setelah ditimpa suatu bencana, kita berusaha menghilangkannya karena bagi orang yang lemah iman dan tidak tahan dengan ujian dapat jatuh pada dosa atau tercabut iman dengan ujian yang berat itu.
Tapi bagi orang yang mampu berhadapan dengan ujian atau orang yang imannya kuat, tidak salah pula untuk tidak berusaha menghilangkannya. Karena sifat redha dengan ketentuan Allah itu salah satu sifat terpuji. Ia merupakan sifat-sifat Rasul. Dan itu pahalanya amat besar di sisi Allah yang Maha Pemurah.
Di akhir zaman ini oleh karena kebanyakan umat Islam sudah jahil dengan ilmu agama, kemudian cinta dunianya pula begitu mendalam, maka mereka hanya terpaut dan terpengaruh dengan kehidupan yang terdekat yaitu dunia ini. Kehidupan di Akhirat sekadar tahu adanya Akhirat, namun hatinya tidak ke sana. Timbullah acuh tak acuh dengan Akhirat. Maka timbullah salah berfikir. Kita memandang perkara yang terdekat itu amat besar dan serius sekali. Nikmatnya pun dipandang besar. Bencananya pun dipandang besar. Akibatnya nikmat dan bencana di Akhirat dipandang kecil saja. Maka sebab itulah kita lupa daratan dengan nikmat dunia. Terasa sangat menderita dengan bencana dunia. Justeru itu banyak dikalangan umat Islam apabila ditimpa bencana yang bersifat hissi di dunia ini, seperti sakit, miskin, dipecat, tidak naik pangkat, turun pangkat, difitnah, hilang harta, rugi di dalam perniagaan, dipukul, dipenjara dan lain-lain, masya-Allah bukan main sedihnya. Derita jiwanya, kusut fikirannya, marah-marah saja, merungut-rungut, tidak bahagia, gelisah, rasa kesal tidak sudah. Mengadu di sana, mengadu di sini, jumpa siapa saja diluahkan perasaan susahnya. Kekusutan fikirannya sampai begitu terlihat sekali, kelihatan pada wajahnya. Melakukan apa saja serba tidak kena. Begitulah perasaan kecewa dengan ujian itu.
Bila iman tiada atau iman terlalu lemah, kemudian langsung putus asa. Ada yang mau bunuh diri untuk menyelesaikan masalahnya. Dia pikir dengan cara itu dapat menyelesaikan masalah. Dia ditipu oleh syaitan terkutuk karena memandang besarnya dunia ini. Tersesat jalan di dunia ini, dan ke Neraka akibatnya. Wal’iyazubillah.
Bagi orang Islam yang kuat imannya, dengan ujian dan bencana dunia ini yang bersifat hissi, dia tidak begitu ambil pusing. Bahkan bagi golongan muqarrobin dan siddiqin seperti para nabi, para Sahabat dan para auliya, mereka sangat terhibur dengan ujian dunia itu. Mereka merrasa dosa mereka terampuni dengan ujian dunia dan bencana itu.
Contohnya cerita di bawah:
Di zaman Rasulullah SAW, ada seorang perempuan mempunyai tiga orang anak lelaki. Dia sanggup melepaskan semua anaknya ke medan perang. Dia tersenyum ketika anak sulung dan anak keduanya mati syahid di medan perang. Dia menangis apabila diberitahu bahwa anak bungsunya turut mati syahid. Bila ditanya mengapa dahulu senyum, sekarang baru menangis, beliau menjawab, “Aku sedih karena tiada lagi anak yang hendak kukorbankan untuk jihad fisabilillah.” Umat Islam di zaman gemilang dan di zaman keemasan terutama di sekitar 300 tahun selepas Rasulullah SAW, mereka sangat sensitif dengan bencana yang bersifat maknawi dan rohani.
Mereka sangat memandang besar akan bencana itu. Mereka terlalu takut dengan ujian yang bersifat maknawi dan rohani itu. Jiwa mereka sangat tersiksa dengan ujian itu. Bahkan bencana yang bentuk ini, belum datang pun mereka amat takut kalau-kalau di masa depan akan ditimpa dengan bencana ini, baik itu secara sedar atau tidak. Karena bencana ini adalah dimurkai oleh Allah dan kalau Allah tidak mengampuni, akan ke Neraka, wal’iyazubillah.
Justeru itulah jika mereka ditimpa bencana ini, hati mereka menderita.Mereka menangis mengalirkan air mata. Hilang selera makan, hilang rangsangan dengan isteri, tidak senyum berbulan-bulan. Mereka akan tebus dengan apa sahaja kebaikan bahkan jika mereka tertinggal amalan yang sunat sekalipun mereka merasa telah berdosa, mereka merasa ini adalah satu bencana.
Hayati cerita di bawah ini:
“Pada suatu hari, Sayidina Abu Bakar pergi ke kebunnya untuk melihat hasil tanamannya itu. Dilihatnya pohon-pohon dan tanamannya banyak yang sudah berbuah. Karena terlalu asyik melihat buah-buahnya yang sudah masak itu, beliau terlena dan tertinggal shalat berjemaah Ashar bersama Rasulullah SAW. Dengan rasa takut dan kesal yang tidak terkira, kebun itu langsung diwakafkan untuk umat Islam dan digandakan shalatnya sebanyak 70 kali.”
“Pada suatu hari, Sayidina Abu Bakar pergi ke kebunnya untuk melihat hasil tanamannya itu. Dilihatnya pohon-pohon dan tanamannya banyak yang sudah berbuah. Karena terlalu asyik melihat buah-buahnya yang sudah masak itu, beliau terlena dan tertinggal shalat berjemaah Ashar bersama Rasulullah SAW. Dengan rasa takut dan kesal yang tidak terkira, kebun itu langsung diwakafkan untuk umat Islam dan digandakan shalatnya sebanyak 70 kali.”
Sebaliknya kebanyakan umat Islam di akhir zaman ini tidak sensitif dengan bencana maknawi dan rohani. Kita tidak terasa apa-apa dengan bencana ini. Kita rileks saja. Kita tidak merasa bersalah bahkan ada yang melupakan sama sekali seolah-olah bencana ini tidak terjadi dan tidak pernah terjadi kepada dirikita.
Sebagai contoh, kita tidak terasa bencana apabila meninggalkan shalat atau terlewat shalat. Kita tidak terrasa bencana dengan mengumpat, dengan memfitnah, dengan menghina, dengan mendurhakai ibu bapak, kepada guru, dengan zina, berbohong, dengan menipu, dengan korupsi, dengan membuka aurat, dengan pergaulan bebas, dengan tidak berzakat, tidak berpuasa, dengan sombong, riyak, dengan tamak, bakhil, dengan pemarah, berdendam, hasad dengki, mengadu domba, menghasut, bertengkar, membunuh, riba, tidak belajar, tidak berbelas kasihan, tidak tenggang rasa, tidak bertoleransi, tidak sabar, tidak pemurah, tidak redha, tidak membantu orang dan lain-lain.
Oleh karena bencana maknawi dan rohani ini tidak dianggap dan tidak dipandang bencana, maka adakalanya dianggap kebiasaan dan diamalkan setiap hari hingga dijadikan budaya. Sebagai contoh, bila kita berkumpul-kumpul, mengumpat dan mengatai orang sering kita dengar bersama, tertawa bersama, rasa senang bersama, sambung-menyambung antara satu sama lain mengumpat orang lain. Adakalanya yang diumpat itu kawan sendiri,ibu ayahnya, gurunya, pemimpin sendiri, isteri dan suami sendiri, hingga terlewat atau tertinggal shalat. Bertambah lagi membesar bencana itu yang tidak lagi dianggap bencana. Kemudian setelah selesai ada yang menipu orang, ada yang pulang ke rumah marah-marah pada isteri, membentak-bentak tidak menentu Bertambah merebak lagi bencana itu, ibarat orang sakit, sakitnya telah kronik. Namun tidak terasa itu adalah bencana yang memecah-belah rumah tangga, keluarga, satu masyarakat, satu bangsa kemudian akhirnya terjun ke Neraka.
http://alekateepis.wordpress.com/2009/10/03/memahami-musibah-menurut-islam/
http://ibnutaib.blogspot.com/2007/03/bencana-menurut-perspektif-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar