Selasa, 02 November 2010

WAKAF PRODUKTIF DAN PERAN SARJANA EKONOMI ISLAM



A. Pendahuluan

Indonesia dikenal sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Negara ini juga dikenal sebagai negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini sesungguhnya memungkinkan Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki kekuatan ekonomi di dunia. Dengan pengelolaan kekayaan alam yang tepat, mestinya kedua potensi tersebut dapat mensejahterakan hidup masyarakat Indonesia. Namun kenyataannya, pemerintah Indonesia sampai dengan saat ini masih dihadapkan pada permasalahan penting bangsa. Masalah tersebut diantaranya, masih banyak rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan, lapangan kerja yang tidak berkembang, mahalnya harga kesehatan dan pendidikan, krisis kepercayaan, korupsi, maupun hutang luar negeri. Oleh karenanya dibutuhkan solusi, yang dalam jangka panjang berdampak positif dan signifikan bagi upaya pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.

 Masih terekam dalam ingatan, peristiwa tragis di Jakarta yang terjadi di bulan Ramadhan tahun 2004. Seorang nenek tewas mengenaskan akibat terinjak-injak massa yang berebut antri beras zakat. Namun di sisi lain terlihat sekelompok masyarakat yang sedemikian kaya, sehingga keinginannya untuk dapat menikmati makan pagi, makan siang, dan makan malam di tiga negara dalam sehari, dapat terpenuhi. Sungguh, kesenjangan ekonomi yang luar biasa yang menimbulkan begitu banyak kepahitan.

Upaya meningkatkan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia memang menjadi tanggungjawab pemerintah. Namun rangkaian kebijakan yang telah diambil pemerintah selama ini belum memberikan pencerahan yang signifikan bagi pembangunan jangka panjang. Oleh karenanya, sebagai umat Muslim yang cinta tanah air, merasa terpanggil untuk ikut berpartisipasi, berupaya untuk keluar dari masalah tersebut. Dengan demikian,  kemandirian pada semua aspek kehidupan benar-benar tidak lagi mengandalkan bantuan dari pemerintah semata. Saling  bersinergi sesama umat Islam menjadi agenda utama. 

B.  Wakaf sebagai Instrumen Kemandirian Umat 

Sebagai generasi ekonom Muslim, tentu berharap dapat memberikan yang terbaik bagi kemajuan perekonomian umat. Maraknya ekonomi Islam, memiliki tujuan akhir, yang tidak lain adalah sebagaimana tujuan dari syariat Islam itu sendiri (maqashid asy syari’ah), yakni mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat (falah), melalui suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat (hayyah thayyibah).
 
Ekonomi Islam hadir tidak sekadar berorientasi untuk pembangunan fisik material dari individu, masyarakat dan negara saja, tetapi ekonomi Islam juga memperhatikan pembangunan aspek-aspek lain yang juga merupakan elemen penting bagi kehidupan yang sejahtera di dunia dan akhirat. Dengan demikian, konsep Islam secara lengkap telah menunjukkan bahwa manusia hidup tidak hanya berorientasi pada dimensi horizontal, tetapi juga pada dimensi vertikal. 

Secara garis besar, syariat Islam meliputi dua aspek. Pertama, ajaran murni yang merupakan hubungan antara manusia dengan Allah yang disebut dengan ibadah, misalnya shalat dan puasa. Kedua, ajaran murni yang merupakan hubungan sosial atau muamalah dalam arti luas, seperti perdagangan, keuangan dan pernikahan. 

Terkait dengan hubungan sosial ini, Allah menghendaki agar umat Islam saling tolong-menolong, membantu satu dengan yang lain dalam menjalani hidup, termasuk diantaranya dalam hal distribusi harta kekayaan. Firman Allah dalam Quran Surat al-Hasyr (59) ayat 7 yang berbunyi:

Artinya, “... Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. Dalam hal ini Allah SWT telah menunjukkan cara bagi umat Islam untuk menyalurkan (mendistribusikan) kekayaannya melalui zakat, infak, shadaqah, dan wakaf (ziswaf), yang dikenal dengan istilah instrumen ekonomi Islam.

Di Indonesia, zakat, infak, dan shadaqah bukan merupakan hal baru. Masyarakat sudah mengenal dengan baik dan sudah sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Begitu pula dengan jumlah pengelola zakatnya. Di Indonesia, Badan Amil Zakat (BAZ) telah tersebar dari tingkat nasional sampai desa/kelurahan, ditambah dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sampai dengan tahun 2007 tercatat sebanyak 500 Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dengan tersebarnya pengelola zakat tersebut, maka manfaat dari zakat, infak, dan shadaqah sudah dapat dibuktikan dan dirasakan oleh mereka yang berhak menerimanya. Meskipun demikian, potensi zakat, infak, dan shadaqah tentu saja masih dapat dioptimalkan lagi.

Sementara instrumen wakaf, sebagai salah satu sistem distribusi harta kekayaan, sampai saat ini masih belum dikembangkan secara profesional. Artinya, wakaf belum dapat menunjukkan kontribusinya sebagai pilar perekonomian sebagaimana zakat. Padahal, sebagai sarana ibadah yang berdimensi sosial, wakaf mengandung filosofi dan hikmah yang besar bagi kehidupan manusia. 

Wakaf secara bahasa berasal dari kata waqf yang berarti menahan, mengekang, menghentikan. Pengertian wakaf adalah menghentikan perpindahan hak milik atas suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara menyerahkan harta itu kepada pengelola, baik perorangan, keluarga maupun lembaga, untuk digunakan bagi kepentingan umum di jalan Allah SWT. Wakaf, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, memiliki kekhasan, yaitu harus tetap nilai pokoknya. Sedangkan yang dapat dimanfaatkan adalah hasil dari pengelolaan wakafnya.  Ibadah wakaf didasari oleh Al Quran surat Ali Imran (3) ayat 92, yang :

Artinya, “Kalian sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna), sebelum  kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” 

Keutamaan pahala wakaf, tidak diragukan lagi. Jaminan amalan ini sebagai amal jariyah yang pahalanya akan tetap mengalir meski orang yang berwakaf telah meninggal dunia, sebagaimana pahala anak sholeh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya dan ilmu yang bermanfaat. 

Dalam hal pemanfaatan hasil pengelolaan wakaf, Didin Hafidhuddin mengatakan bahwa optimalisasi penerima wakaf bisa lebih luas dibanding zakat, karena tidak ada kualifikasi penerima manfaat wakaf, sedangkan penerima zakat (mustahiq) dibatasi pada 8 ashnaf penerima zakat. Artinya bahwa manfaat wakaf dapat disalurkan/digunakan untuk berbagai keperluan, selama tidak menyimpang dari ketentuan syar’i.


C.  Potensi Wakaf dan Peran Sarjana Ekonomi Islam

Akhir-akhir ini, perhatian pemerintah terhadap pengembangan wakaf terlihat semakin menggembirakan. Upaya serius telah dilakukan pemerintah, diantaranya menyiapkan perangkat hukum berupa undang-undang dan peraturan tentang wakaf, melakukan sosialisasi wakaf melalui seminar, iklan, pamflet, spanduk, talk show, mendukung penelitian-penelitian tentang wakaf, menyelenggarakan pembinaan terhadap nazhir-nazhir  (pengelola wakaf) se-Indonesia, melakukan pengembangan atas harta benda wakaf, pendataan potensi tanah wakaf, pensertifik 

Oleh: Siti Achiria, SE., MM (Dosen STEI Yogyakarta) 
Sumber: http://www.stei-jogja.ac.id/dartikel.php?id=6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar